Dua Lewat Lima

Seketika kuterbangun dari mimpiku yang kalut. Peluh membasahi kening dan kausku. Akhir-akhir ini aku tidur dengan mimpi yang meresahkan. huh! Ini pasti karena lupa berwudhu sebelum tidur, Atau karena menyambut hari besar ini?

Kulihat jam dinding, satu-satunya hiasan di tembok kusam itu. Seperti biasa, saat tidur di kamar ini aku terbangun dengan selalu menemukan waktu pukul dua lebih lima menit. Kenapa selalu lebih lima menit? Memikirkan berbagai kemungkinan mulai dari hal mistis sampai realistis tak akan ada usainya. Tidak penting. Yang penting, Aku butuh berwudhu.

Saat keluar dari pintu kamar mandi dengan kaus yang sudah kuganti, aku langsung berada di kamarku lagi. Bukan karena memiliki kekuatan super, tapi letak kamar mandi yang memang berada di dalam kamar kost.

Usai asik curhat kepada Tuhan, Sejadah dan sarung aku lipat rapih. aku kembali ke atas kasur. Kusenderkan punggung di tembok putih yang sudah menguning ini. Bersantai sejenak, meluruskan kaki dan memejamkan mata. Aroma khas kota bandung menembus otakku lewat sekali hirupan. Aduhai, tentram sekali. Udara yang menyelinap dari lubang jendela terasa sangat segar. Suara detik pelan jam kamarku seakan menjaga kestabilan dalam kenyamanan ini. Aku terhanyut dalam nikmat Tuhan di dini hari. Terima kasih Tuhan, batinku.

“Nak bangun! jangan tidur seperti itu. Rebahanlah. tidur yang bener!”

“Iya, nanti Bu” jawabku lirih dengan tak merubah sedikitpun posisi nyaman ini.

Ibu duduk di pinggir dipan dengan Bapak yang berbaring disampingnya. Ibu sedang menyuapi Bapak yang tak lagi gagah seperti dulu. Alih-alih bekerja di sepetak sawah yang biasa ia lakukan, berdiri saja Ia sudah tak mampu. Serangan stroke dua tahun yang lalu merobohkannya. Ditambah demensia yang hinggap di awal tahun ini membuat Bapak sangat memerlukan perhatian khusus.

Bapak sudah jarang bersuara. Kadang hanya lantunan dzikir yang mampu kita dengar, namun kebanyakan adalah suara rintih yang tertahan. Rindu sebenarnya mendengar ucapan-ucapannya, penuh ilmu namun jauh dari kesan menggurui.

“Besok kamu tetep kerja?” Tanya Ibu.

“Alhamdulillah enggak Bu, aku dikasih izin satu hari sama si bos”

Ibu tersenyum lega. Aku pun ikut merasakan kebahagiaan Ibu.

“Ini Bang, minumnya, aku baca di koran, kita tuh harus rajin minum air putih.” Kata Wulan yang seketika menyampiriku.

“Iya Surya, dengerin tuh adik kamu. Jangan ngopi mulu makanya. Entar kebiasaan loh sampe tua” Ibu menambahi sambil masih sibuk menyuapi Bapak

Aku tersenyum dan mengangguk tanda iya.

“Bagaimana kabarmu di sekolah Dek? kata Ibu, kamu baru aja juara olimpiade matematika ya? Tanyaku.

“Iya Bang! Alhamdulillah, gak nyangka juga bisa menang lagi hehehe” jawab Wulan riang.

“hehehe pinteeer“ jawabku sambil mencubit pelan pipi tembemnya.

“Surya, kamu sudah siap untuk sidang nanti siang?” tanya Ibu tanpa melihatku sembari menyuapi Bapak.

“In shaa Allah Bu, aku sudah paham dan hafal betul skripsiku”

“Nah gitu bagus, kalau sudah S1 kamu kan bisa capai cita-cita kamu yang lain” lagi, Ibu berbicara tanpa melihat ke arahku.

“Doakan saja Bu, semoga lancar.”

Ibu tersenyum seraya mengusap lembut sisa makanan di hujung bibir Bapak. Aku pun tersenyum jika mendapati senyuman di wajah Ibu. Senyumku tak kunjung reda. Kali ini mengenai orang tuaku. Dari dulu, selalu menjadi kenikmatan tersendiri saat melihat romansa kehidupan kisah cinta kasih mereka. Mereka pantas menjadi panutan rumah tangga yang harmonis, setidaknya untukku.

Aku memanggil adikku dengan berbisik. “Dek..” Wulan menengok ke arahku.

“Terus bikin bangga Bapak-Ibu ya, mereka pasti bahagia banget punya anak yang cerdas kayak kamu. Jangan lupa bantu Ibu. Capek loh Ibu seharian penuh jagain Bapak.” Ujarku pelan agar Ibu tak mendengar

Wulan mengembangkan senyumnya diiringi kode oke di jarinya. “Abang juga ya, semoga sukses di Bandung. Jangan lama-lama di pulau sebelah. Kami kangen.” ujarnya cengengesan.

“Allahu Akbar – Allahu Akbar!!!!”

Suara adzan subuh dari masjid sebelah kamar kost lantang memasuki gendang telingaku. Kutersentak dan membuka mata. Kutersadar mendapati suasana kamar kostku yang sunyi.

Bayangan serta suara Bapak, Ibu dan Wulan memang kerap menemani rasa sepiku. Mungkin mereka merasakan rindu yang sama seperti yang kurasa. Bibirku lama  tersenyum. Menikmati indahnya cinta keluarga kami di dalam hati. Kusegerakan berangkat ke masjid. Tak mau kulewatkan satu detik keberkahan ibadah subuh di masjid untuk berdoa kepada Tuhan.

*repost from my older blog

Popular posts from this blog

SMJ #4 - Nukilan Sandungan

Meninjau - Coffee Shop : Antara Takdir dan Upaya Pencegahan Depresi

SMJ #2 - Cinta yang (tak) usai