Di Balik Goresan Tegas Widi S. Martodihardjo


Review Pameran Lukisan - IN BETWEEN God, Man and Nature


img_2109
Karya terbesar Widi yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta

Pentingnya Mengenal Diri Sendiri

Pernah kah kita merasa salah dalam memilih jurusan studi? Ternyata memang tidak sedikit yang merasakan hal yang serupa, sama halnya seperti Widi S. Martodihardjo. Atas dasar memiliki potensi menggambar dan suka menggambar, seusai lulus SMA di tanah kelahirannya-Yogyakarta, Widi merantau ke Bandung untuk melanjutkan studi di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Universitas Pasundan, Bandung. Tidak butuh memakan waktu lama, Widi menyadari ternyata Jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) yang Ia pilih tidaklah sesuai dengan ekspektasinya. Ia tidak suka berkarya dengan adanya intervensi seperti yang akan dihadapi olehnya setelah lulus.
Detil dari Lukisan yang berjudul "Rotation #3"


Detil dari Lukisan yang berjudul "Rotation #3"
Sadar akan salahnya lingkungan ini, alih-alih menghentikan studinya, Ia memilih hidup dengan membuat kebiasaan diluar kebiasaan mahasiswa jurusan DKV. Mulai dari datang ke hampir setiap pameran kesenian, rajin bertemu orang-orang baru, rajin menonton teater, hidup di jalanan mengumpulkan kertas-kertas bekas sampah kampus, membuat prakarya dari kertas tersebut, lalu dijual yang menjadikannya PKL di depan BIP. Kemudian, mulai bermunculan komentar-komentar kolega kampusnya seperti, “Lo sok seniman!” “yo wes lah gapapa..” jawabnya santai. tapi dalam hati yang paling dalam ya, “gue bakal jadi seniman beneran.” Jawabnya tegas.
Widi menjalankan habit selama bertahun-tahun dan secara tidak sadar menjadikan alam bawah sadar seniman Widi terbentuk. Suka kesenian, berhubungan dengan orang, berhubungan dengan kemasyarakatan, hal-hal estetis, kepekaan, dan sebagainya yang Ia sebut sebagai experience. empiris. “Saya lakukan terus hingga lulus kuliah tahun 2001. lalu saya memutuskan, yaudah lah, saya terlanjur ingin jadi seniman. Saya mau ke Bali”
Dengan berbekal upah sebuah project pembuatan desain interior dapur yang ia terima di Jakarta. “dengan modal Rp400.000 saya berangkat ke Bali dengan niat menjadi seniman Bali”. Sesampai di Bali, Widi belum menemukan Ia ingin menjadi seniman yang seperti apa. Dalam proses mencari itu, Ia tetap menyambung hidupmenjadi illustrator, desain grafis, dan sempat menjadi fotografer.
Di suatu kesempatan, Widi bertemu dengan salah satu maestro yang sudah dituakan di Ubud, “Kamu tidak akan menjadi apa-apa Wid.....Sebelum kamu memutuskan kamu mau jadi apa. Karena kamu banyak bisanya. Grafis ok, abstrak ok, portfolio ok,”
Widi hanya bilang, “tunggu ya mas!”

Rasah Kakean Cangkem: MEGAE...MEGAE... MEGAE!!

Mendapati telah menjalani hidup bertahun-tahun di bidang yang tidak ia cintai, Widi mencapai titik keresahan dan kejenuhan. “lalu buat apa artinya saya berada di Bali dan menjadi seorang pegawai kantoran?” pada titik itu Widi yang berada di kost-an di Bali sedang berhadapan dengan secarik kertas dan ballpoint.
“Tanpa pikir panjang, semua mulai dengan hanya satu goresan, kemudian semuanya mengalir, saya bercerita dengan suara yang terbuka mengenai hubungan Manusia dengan Tuhan, kehidupan sosial Manusia, dan Alam ini melalui garis-garis di atas kertas itu.”

"Merunduk"


"Terduduk"


"Sujud"
“Kenapa harus kertas dan bolpoint? Karena saya dulunya orang grafis, saya dekat dengan packaging dan stationary, nah makanya saya mau eksplorasi dalam ranah fine art.”

Setelah Widi cukup yakin dengan apa yang Ia inginkan, pada awal tahun dengan bermodal komitmen, Ia pindah ke ubud untuk bekarya, bekerja keras terus berkarya. Kelaparan, puasa, dan makan sedapatnya Ia tempuh selama berkarya hingga Ia sadar pada tahun 2006 karya2nya sudah banyak menumpuk di studionya di Ubud.
Widi sadar Ia akan harus menghadapi publik seni rupa. Harus mengadapi bagaimana kecenderungan galeri menangkap karya seni rupa. Lalu setelah diperlihatkan ke orang-orang lokal, Ia mengatakan banyak yang mencap jelek karyanya. “Diberi cap tidak sale-able lah, tidak awet lah, bla bla bla.”
Setelah itu dengan membawa seperangkat portofolio karya-karyanya Widi pergi ke 4 Season Ganesha Gallery untuk jalan-jalan, nonton pameran orang lain sekaligus menguji takdir menyerahkan portofolionya ke panitia. Masih di hari yang sama, Widi S. Martodihardjo diminta untuk menandatangani kontrak untuk turut mengikuti pameran di tempat yang sama. Widi mengusung debut pamerannya itu dengan tajuk “Reborn”.

“Saat sedang menjalani pameran utama itu, saya mendeklarasikan diri: Yes, i’m an artist. Saya akan bekerja dan hidup dari sini”

Lalu terjadilah efek bola salju. Setelah pameran debutnya itu, semua terlihat lebih mudah, banyak galeri yang Ia sambangi untuk pameran karya-karyanya itu. Ia mengakui semua karena Ia mengaku berdiri tegak di atas komitmen, menjaga dengan konsistensi dan kerja keras.
img_2017
Detil dari Lukisan yang berjudul "Rotation #3"

“Gak perlu banyak ngomong, gak perlu takut lapar, gak perlu takut dibilang tidak keren, tidak update, dan lain sebagainya. Kerjakanlah dengan cinta-passionate, anda tak akan pernah merasa bekerja selamanya” ujarnya tegas.

Menanggapi isu pendidikan Indonesia yang ternyata malah menciptakan banyak pengangguran, Widi berkomentar bahwa pelajar di Indonesia tidak diberi kesmpatan untuk memilih. Menurutnya, keseragaman pendidikan cukup hingga tingkat Sekolah Dasar, setelah itu pelajar dihadapkan dengan pilihan studi yang sesuai dengan mintanya.
Pria yang bermimpi bisa pameran di The MOMA, NY ini juga berpendapat jika muatan pengetahuan entrepreneur harus sudah diterapkan sejak dini. “Be enterpreuner. Intinya jangan jadi orang cengeng, jangan banyak menuntut”
img_2100a
Komitmen  dan konsistensi menurut Widi

IN BETWEEN God, Man and Nature

IMG_2104a.jpg
Widi dengan murid didiknya: Sekolah Citra Alam
Seniman yang mengaku sanguinis ini, mengaku tidak mudah orang lain membeli karyanya jika tidak melalui proses diskusi dengannya terlebih dahulu. “Gak sembarangan orang bisa beli karya saya, harus ada proses diskusi, harus ada cinta (terhadap karya)”

So, untuk anda yang tertarik dengan hasil karya Widi S. bisa bisa segera kunjungi pameran tunggalnya di Bentara Budaya Jakarta yang sudah dibuka dari tanggal 20 Oktober kemarin hingga 29 Oktober 2016 nanti. 

Saran saya datang di atas jam 10 pagi agar bisa bertemu langsung dengan Widi S. Hal ini dikarenakan Widi masih disibukkan dengan jadwal mengajar di sekolah gratis, Sekolah Citra Alam.Jangan lupa makan dulu sebelum berkunjung, anda akan bertemu seniman ramah yang hobi ngobrol panjang lebar. So, Silahkan datang dan menikmati coretan demi coretan Widi S. Martodihardjo. :)

img_2131a
Widi bersama Karyanya: "Rotation #2"
img_2128
Suatu kehormatan bisa berkenalan dengan
Widi S.  Martodihardjo

 

Popular posts from this blog

SMJ #4 - Nukilan Sandungan

Meninjau - Coffee Shop : Antara Takdir dan Upaya Pencegahan Depresi

SMJ #2 - Cinta yang (tak) usai